Friday 25 March 2016

YAZIRWAN UYON : JURNALIS KAWAKAN ASAL BUKIT TINGGI SATU KULIAN DI PUBLISISTIK UNPAD 1976-1980




AGambar yang diabadikan pada tahun 1978 di depan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Kelihatan Yazirwan Uyon (dua dari kiri) dan Ahmad Fadzil Yassin (kanan sekali). Juga kelihatan kawan-kawan sekuliah  dari kiri Iwan Gimbal, Irawaty Nasution (tiga kiri), Allhyarham Ahmad Faizal (lima kiri) dan Immas Sunaryo. 
Yazirwan nama besar dalam dunia kewartawanan Indonesia. Yazirwan pernah menyandang jawatan Direktor Utama TVRI di Jakarta. Beliau kawan karib saya ketika sama-sama kuliah di Fakultas Publisistik, Universitas Negeri Padjadjarn di Jalan Dipati Ukur Bandung, Indonesia. Penah dua kali mengunjungi Kuala Lumpur ketika masih menjadi mahasiswa dan kembaranya menembusi Johor Bahru hingga ke Kuala Lumpur. Itu pada tahun 1978 dan sekali lagi pada tahun 1980. Pernah saya menulis tentangnya dalam akhbar mingguan Utusan Zaman suatu ketika dan kemudian saya muatkan artikel itu ke dalam buku Memoir AFYassin, Selagi Dakwat Mengalir yang diterbitkan pada tahun 2015, Kini beliau berugas dengan sebuah syarikat konglomerat di Kota Besar Jakarta dan menetap bersama isteri dan dua anaknya di Rempoa Indah berhampiran TMII, Jakarta. 


Oleh: Mentari Chairunisa
210110110359

Yazirwan Uyun saat diwawancarai di kediamannya
 di daerah Rempoa, Tangerang Selatan (15/12)


Menjadi seorang wartawan mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh Yazirwan Uyun. Ia mengawali karirnya sebagai jurnalis sekitar tahun 1981 seteah ia lulus dari jenjang S1 di jurusan Jurnalistik Universitas Padjadjaran. Awalnya, pria yang akrab disapa Iwan ini bekerja di Pusat Dokumentasi Ilmiah Indonesia untuk LIPI. Karena ia merasa tak cocok dengan pekerjaannya saat itu, akhirnya ia memutuskan untuk merintis karir menjadi reporter TVRI hingga menjabat sebagai pimred dan Dirut TVRI.
Banyak pengalaman yang telah ia dapatkan saat berkecimpung di dunia jurnalistik Indonesia. Dari mulai menjadi reporter lapangan biasa hingga menjadi reporter kepresidenan. Beragam kunjungan luar negeri kenegaraan pernah ia ikuti, salah satunya adalah pertemuan para pemimpin negara APEC. Selain itu, salah satu kebanggan yang sampai saat ini masih ia kenang adalah saat ia berhasil mewawancarai Presiden Soeharto.
Menurut pria yang sudah pensiun dari reporter berita ini, Soeharto bukanlah orang yang sembarangan, sangat sulit untuk mendapatkan waktu untuk berbincang dengannya. Akhirnya Iwan pun melakukan pendekatan terlebih dahulu kepada putir Pak Harto, yakni Mbak Tutut.  
Meskipun tak langsung disetujui oleh Mbak Tutut, namun berkat kegigihannya, Iwan berhasil mewawancarai orang nomor satu di Indonesia pada saat itu. Selain Presiden Soeharto, Iwan pun pernah bertemu dengan Presiden lainnya, seperti B.J Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY serta tokoh-tokoh terkenal lainnya baik nasional maupun internasional.
Iwan pun membandingkan dunia jurnalistik pada zamannya dulu dengan dunia jurnalistik saat ini. Menurutnya, dunia jurnalistik saat ini lebih bebas dan kreatif.  Bebas karena sudah tidak terkekang seperti masanya dulu saat kebebasan masih sangat terbatas. Setelah Reformasi, menurut pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 2 Oktober 1954 ini, kebebasan menjadi  sangat hampir tidak terbatas untuk seorang wartawan.
Iwan juga optimis dengan perkembangan dunia jurnalistik saat ini karena para jurnalis juga lebih kreatif dibandingkan dulu. Ia berpendapat bahwa saat ini para jurnalis sudah diberikan kemudahan dan fasilitas yang memadai, berbeda dengan masanya dulu. Menurutnya, dari segi pendidikan, jurnalis saat ini tentu mendapatkan pendidikan yang lebih baik, kemampuan otaknya pun lebih dibandingkan Iwan dan juga rekan-rekannya di eranya terdahulu. Hanya saja, semangat dan kerja sama para jurnalis muda ini yang sebenarnya menentukan kualitas dunia jurnalistik Indonesia saat ini.
Peraih penghargaan Press Card Number One ini menyarankan agar para jurnalis muda ini agar rajin membaca. Karena dengan membaca, banyak sekali informasi-informasi serta pengetahuan yang bisa didapatkan karena menurutnya jurnalis harus memiliki banyak pengetahuan.
Ayah dua anak yang saat ini menjadi anggota KPI Pusat (Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran) ini pun memiliki harapan yang besar terhadap dunia jurnalistik saat ini. Ia berpesan agar para jurnalis saat ini tetap mematuhi kode etik jurnalistik yang telah ada sebagai pedoman.

Sumber  : Wawancara langsung pada Sabtu, 15 Desember 2012 di Taman Rempoa Indah, Tangerang Selatan


Posted 12th January 2013 by Jurnalistik 2011



Yazirwan Uyun (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 2 Oktober 1954; umur 61 tahun) adalah seorang wartawan Indonesia dan mantan Direktur Utama TVRI. Yazirwan menjabat sebagai Direktur Utama TVRI sejak tanggal 10 Februari 2004 setelah menggantikan Hari Sulistyono, pejabat sebelumnya.
Yazirwan Uyun berkarier di TVRI sejak tahun 1982. Seperti umumnya karier wartawan, dia memulainya sebagai seorang reporter, lalu jadi pewawancara dan berlanjut menjadi produser berita. Untuk jabatan struktural, dia pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Pemberitaan TVRI, lalu menjabat Direktur Personalia sebelum menjadi Direktur Utama.[1]
Setelah tidak lagi aktif di TVRI, pada tahun 2007, Yazirwan menjadi anggotaKomisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk periode tahun 2007-2010, lalu kemudian berlanjut pada periode 2010-2013.[2]
Yazirwan Uyun menikah dengan seorang perempuan bernama Rosdiana dan telah dikaruniai dua orang anak yaitu Hendra F.E. dan Florencie C. 

Sunday 20 March 2016

ABU AMAN BACHIK PENULIS TAMU MEMOIR AFYASSIN 2 : GURU AL-URAN MUHAMMAD IBRAHIM ANUGERAH DARIPADA ALLAH SUBHANAHU WATAALA

Penulis tamu Abu Aman Bachik (kiri) bersama ex-TBS Tampin ketika melancarkan buku SKTBS di depan alma mater



Abu Aman Bachik (kiri) bersama Ex-TBS Abdullah Ayob  ketika santai di sebuah restoran di Shah Alam.




Guru Al-uran Muhammad Ibrahim (kiri sekali berdiri di baris belakang) menganggotai JK Penerbitan Buku Gunung Datuk di Homestay Kak Salbiah Tonyamor, Mukim Gadong selepas menghadiri mesyuarat JK Penerbitan.

Satu insiden telah menjadi pembuka terombo bagi anugerah Yang maha agung dari Allah yang tiada apa yang mustahil bagi Nya.

Subhanallah, MasyaAllah dan kun fayakun kata Allah. Apa yang dikehendakNya berlaku akan jadi lah ia dengan inayahnya. Memang itu lah pun yang berlaku dalam hidup kami sekeluarga.
Kerana dengan tiada siapa menyangka dan menduga, hasil dari dailog main suruk suruk diatas dengan tak semena mena Allah telah mengurniakan saya dan keluarga sebutir mutiara yang tiada nilaii harga nya didunia ini, malah ia adalah saham untuk kami dan tuan guru juga untuk akhirat nanti. Insya Allah!

Kami telah di anugerahkan oleh Allah sebutir mutiara yang gilang gemilang dalam bentuk seorang guru Alquran bernama Muhammad bin Ibrahim. Tuan guru medidik kami Alquran tampa mengenakan kan kami sebarang bayaran. Khidmat  Tok Mat kepada kami, saya dan isteri adalah percuma , tanpa mengena kan bayaran satu sen pun. Hebat ......... hebat. Memang hebat.

Alhamdulillah Hi Rabbil Alamin, segala puji bagi Allah yang Maha Agung, yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah seru sekilian Alam langit dan bumi. Hanya Dia lah yang berhak di sembah dan Dia lah yang berhak dipatuhi. Hanya Dia lah tumpuan Ahlit Taqwa dan sekelian orang mukmin dan mukminat  muslimin dan muslimat yang menjadikan Syurga Allah matlamat hidup dan keujudannya di dunia yang fana ini.

Pada tanggal  23 hb Februari 2013, mulalah sessi  pertama kami saya dan isteri, membuka musyan Osmani semula setelah beberapa lama di tinggalkan. Quran di baca sebelum ini hanya buku surah Yassin. Itulah sebabnya kenapa saya mengatakan kehadiran Tok Mat ini adalah anugerah Maha Agung untuk saya suami isteri. Dengan kehadiran TM kami berjinak jinak semula dengan AlQuran dan kali ini membacanya penuh tertib dan tajwid.

Kini kenal lah kami dengan beberapa jenis Mad dan beberapa hukum, seperti nun sakinah dan bagaimana memula kan bacaan yang bermula dengan amzah wasal yang tak berbaris, walau pun kami telah berguru dengan beberapa orang guru sebelum ini.namun tiada satu pun yang telah mengajar kami sebagaimana Tok Mat mengajar kami tajwid AlQuran yang sepatutnya. Entah kenapa ya diantara guru kami itu adalah Hafiz AlQuran.  Namun gaya mereka mengajar tidaklah sedetail Tok Mat mengjar kami.

Walaupun umor kami telah tujuh puluh tahun, megaji dengan Tok Mat lah baru kami tahu  yang mana satu mad lazim, yang mana satu mat jais, dan mana satu mad asli. Sungguh bertuah rasanya kami mendapat seorang guru AlQuran yang mengajar tajwid begitu terperinci sekali. Dan apa yang perlu dibanggakan ialah Tok Mat ini mengjar lilahhi Taala. Tok Mat mengajar tanpa sebarang imbuhan. Beliau mengjar kami secara percuma. Tiga hari seminggu Isnin Selasa dan Rabu.  Hari Khamis guru AlQuran kami ini adalah sorang ketua chef di masjid AlUbudiah, seksyen 19 di Shah Alam. Chef ini pun di lakukan oleh Tok Mat secara sukarela. Di samping itu Tok Mat adalah guru AlQuran kepada ramai kanak kanak dan orang dewasa.. Begitu mulia anugerah Allah kepada Tok Mat ini.
Secara peribadi Tok Mat adalah seorang Polis pencen yang berpangkat Senior Assistan Commioner di Bukit Aman katika maseh bertugasnya. Beliau adala benar benar seorand HAMBA ALLAH yang tawaddhu'dan tidak membangga diri. Seperkara yang perlu di nyatakan disini ialah: satu hari Tok Mat telah di uji oleh Allah. Tok Mat telak terlibat dalam kemalangan yang melibatkan kereta yang di pandunya write off.. telah terlanggar sebatang pokok besar yang tidak berapa jauh dari rumahnya. Tok mat Telah terlantar di Hospital Tunku Puan Aminah di Klang selama beberapa minggu dengan mengidap beberapa tulang rusok yang patah. Kemalangan itu berlaku ketka Tok Mat dalam perjalan pulang kerumahnya setelan mengajar kami mengaji AlQuran di rumah kami. Namun se lepas beberapa minggu kemalangan itu Tok Mat  tak serik. Beliau datang juga mengjar kami dengan mengemploy seorang dr iver. Begitulah gigih dan istiqomahnya Tok Mat mengajar kami. Driver itu ialah saudara Razali Saad yang sama sama turut mengaji bersama kami.

Memang tak dapat dinafikan ajaran AlQuran tok mat adalah amat memberi bekas. Insya Allah kini kami boleh pula mengajar mengaji Alquran kepada cucu cucu kami.
Segala budi jasa baik dan pengorbanan Tok Mat tiada siapa manusia yang boleh membalasnya. Hanya kepada Allah kami pohonkan keberkatan hidup dan ganjaran syurga firdaus untuk manusia yan bernama Muhammad bin Ibrahim, guru Quran kami. Insya Allah..                    AaB... Ahad ...20032016....224pm..

Thursday 17 March 2016

BERPANTUN DN BERDONDANG SAYANG DI MELAKA BERSAMA AZIZ TAPA DAN BORHAN YAMAN

TS Abd. Aziz Tapa (tiga kiri) bersama rombongan Jejak Bahasa dari TV3-DBP

Datuk Dr.Awang Sariyan ketika itu Pengarah Program Jejak Bahasa TV3-DBP




BERPANTUN DAN BERDONDANG SAYANG DI
MELAKA
PENGACARA Jejak Bahasa TV3, Nizal Mohammad bertanya
pada pagi 27 Mei yang lalu, “Apa angle saudara minggu ini?”
Nizal merujuk kepada tulisan untuk kolum saya di sebuah akhbar
mingguan berbahasa Melayu. Oleh sebab pertanyaannya spontan
dan tiba-tiba, saya juga menjawab spontan, “Belum terfikir lagi, mungkin
pantun orang Melaka.”

Sememangnya kru Jejak Bahasa sedang dalam perjalanan ke kediaman
Tan Sri Aziz Tapa, 78 tahun, di Jasin. Turut sama dalam rombongan
pagi itu ialah Datuk Wira Borhan Mohd. Yaman, 74 tahun, yang
dijemput khas dari kediamannya di Klebang untuk menyertai Aziz
Tapa, berbincang tentang pantun dan jika perlu rumah tradisi orang
Melaka.

Aziz Tapa kurang sihat sewaktu kami hubungi sebelumnya, tetapi
kerana pantun dan bahasa Melayu dia “menyihatkan” diri bersiap
menunggu kedatangan kami. Dan kami menyelusuri jalan-jalan kenangan
Tan Sri itu dalam hujan lebat yang bagaikan cuba menghalang
pertemuan. Jamal Shah, orang perantaraan kami di Melaka sedikit
hairan. Katanya, “Biasanya di Melaka hujan sebelah petang. Ini pagi.
Pelik juga.”

Aziz Tapa, seperti halnya Borhan Yaman, masih bersemangat membincangkan
topik tradisi warisan Melayu, iaitu pantun. Kedua-duanya
masih mampu mengingat pantun-pantun lama yang berkait dengan
budi pekerti, perjuangan dan kasih sayang. Malah, sambil berbual mereka
menyelitkan pantun-pantun usik-mengusik suami isteri. “Mengasyikkan!”
kata seorang anggota rombongan. Di samping pantun ruparupanya
Aziz Tapa juga seorang pelukis. Salah sebuah lukisannya kini
dipamerkan di Balai Seni Lukis Negara dengan judul “Suatu Petang di
Pelabuhan”. Sebenarnya Aziz Tapa guru lukisan suatu ketika dahulu.
Dan dia juga bekas Speaker Dewan Undangan Negeri Melaka. Borhan
Yaman mengakui bahawa Aziz Tapa ialah guru lukisannya ketika bersekolah
dahulu. Kedua-dua tokoh ini berada dalam lingkungan lebih
dua dekad daripada usia emasnya.

Aziz Tapa bangga dengan Melaka. Bukan sahaja kerana pantunnya
tetapi menganggap Melaka negeri Islam pertama terkenal di dunia.
Katanya semuanya bermula di Melaka. Betapa tidak, Melaka terkenal
di seluruh dunia pada tahun kegemilangan empayarnya pertengahan
abad ke-15, terutama sewaktu Sultan Mansur Shah memerintah.
Banyak pedagang dan santeri singgah di pelabuhan Melaka. Katanya,
“Jangan lupa sistem pemerintahan Melayu bermula di Melaka. Dulu
kita ada sultan, bendahara, temenggung, penghulu bendahari dan
laksamana. Hari ini kita ada sultan (Yang di-Pertuan Agong), Perdana
Menteri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kewangan dan Menteri Pertahanan
yang di bawah kuasanya ada Laksamana.”

Cuma satu hal yang kadang-kadang susah diterima akal. Kata Aziz
Tapa, ada perbilangan orang kita, iaitu “Kalau nak makan angin pergi
ke Singapura, kalau nak makan pergi ke Pulau Pinang dan kalau nak
mati pergilah ke Melaka. Sebabnya di Melaka kalau ada orang mati
meriah. Ramai yang hantar jenazah ke pusara.”

Aziz Tapa cuba menghuraikan pembayang maksud dalam pantun.
Menurutnya, lazimnya pembayang diambil daripada suasana persekitaran,
alam dan kehidupan. Banyak pantun dicipta melalui pengalaman
bersama alam yang melingkunginya. Misalnya, pantun kasih:

Kalau padi katakana padi,
Tidak saya terrtampi-tampi;
Kalau sudi katakan sudi,
Tidak saya ternanti-nanti.

Pembayang kepada pantun itu ialah “padi” dan orang Melayu dekat
dengan padi yang menghasilkan beras, makanan utamanya. Menampi
padi itu lazim untuk mengasingkan hampanya sebelum ditumbuk
menjadi beras. Padi dan tampi adalah sesuai dengan rima dan ritma
akhirnya.

Borhan Yaman yang kental dengan semangat juangnya, terutama
dalam bidang bahasa dan budaya, turut merasakan keindahan dan
kekentalan semangat kesetiakawanan dan kasihkan bangsa. Borhan
Yaman mengeja “Alif”, “Ba” dan “Ta”. Katanya, “Alif” ialah agama,
“Ba” bangsa dan “Ta” tanah air. Beliau berpantun,

Kalau roboh kota Melaka,
Papan di Jawa saya dirikan;
Kalau sungguh bagai dikata,
Nyawa dan badan saya berikan (serahkan?)

Pembayang pantun ini ialah simbol perjuangan. Menurutnya, pantun
itu “hadis”nya orang Melayu. Siapa tidak kenal Borhan Yaman
yang suatu ketika dahulu merupakan Ketua Pemuda UMNO Negeri
Melaka yang berjuang bersama-sama A. Ghafar Baba (sekarang Tun)
dan Aziz Tapa sendiri (tiga serangkai) yang menjadi pengasas kepada
kemajuan UMNO dan kerajaan Melaka hari ini.

Borhan Yaman mengungkapkan rasa cintanya kepada agama,
bangsa dan tanah air dengan “reda berkorban segala” sesuai dengan
peribahasa yang disukainya, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Baginya
cinta akan tanah air adalah sebahagian daripada iman. Semangat ini
banyak terjelma dalam pantun-pantun dan perbilangan orang Melayu.
Tidak kurang menariknya ialah pantun dalam irama Dondang
Sayang di negeri yang pernah terkenal dengan temasya “Mandi Safar”
suatu ketika dahulu. Malah, temasya tahunan ini tidak akan lengkap
tanpa nyanyian dondang sayang dengan pantun liriknya. Ini diakui
oleh kedua-dua tokoh Aziz Tapa dan Borhan Yaman. Turut akur dengan
fenomena pantun dan Mandi Safar ini ialah pengerusi Persatuan
Peranakan Baba dan Nyonya Melaka, Baba Kim Bok, 58 tahun, yang
ditemui di rumahnya di Bukit Rambai. Baba Kim aktif mengetengah
kan budaya baba dan nyonya yang tunjangnya adalah daripada budaya
Melayu.

Baba Kim menerajui Badan Kesenian Baba dan Nyonya, ringkasnya
“Kebaya” yang kegiatannya antara lain menubuhkan kumpulan
Dondang Sayang. Salah seorang anak asuhan Baba Kim dalam irama
dondang sayang ialah Boon Kim Geok. Pada pagi 28 Mei, kru Jejak
Bahasa mengadakan penggambaran untuk lagu dondang sayang yang
didendangkan oleh Kumpulan Mawar Biru pimpinan Baharim Mohd.
Shariff, 58 tahun, dengan barisan penyanyinya Nona Othman 52 tahun,
Maarof bin Abu Chik 69 tahun, serta Boon Kim Geok sendiri
(penyanyi undangan). Penggambaran diadakan di sebuah rumah di
Bachang. Rumah ini menyaksikan kumpulan ini berlatih sejak 40 tahun
lalu.

Nama dondang sayang sinonim dengan pantun usik-mengusiknya.
Inilah kelebihannya, terutama dibawa berlagu oleh penyanyinya. Istimewanya
irama ini ialah lirik pantun spontan penyanyinya ketika
menjual dan membeli. Seperti kata Ma’arof, keindahan dondang sayangnya
ialah lirik dihasilkan ketika sedang menyanyi. Contohnya dia
menjual serangkap pantun dengan penuh irama dan pasangannya diminta
membeli atau menjawabnya dengan pantun yang disesuaikan
dengan apa yang dijual.

Baharim yang memimpin kumpulan adalah juara Dondang Sayang
Kebangsaan dalam Pertandingan Dendang Rakyat anjuran RTM pada
tahun 1988. Baginya dondang sayang telah mendarah daging dengan
hampir 40 tahun daripada usianya dihabiskan untuk mengasah bakatnya
dalam lagu kebanggaan orang Melaka ini. Kini, dia sedang mempersiapkan
beberapa anak kecil untuk meneruskan tradisi dondang
sayang ini. Ada dua orang yang sedang diasah bakatnya, iaitu Mohd.
Firdaus, 12 tahun dan Mohd Herdi Ramli, 14 tahun. Mohd Herdi dilatih
memukul rebana sementara Firdaus penyanyi.

Kegigihan Baharim dan Baba Kim Bok meneruskan tradisi dondang
sayang ini barangkali akan tinggal “gigih” sahaja sekiranya tidak ada
pihak yang secara serius mempertahankannya. Siapalah Baharim atau
Kim Bok jika pihak berkuasa kebudyaan, misalnya tidak pernah menjenguk
kegiatan mereka. Tidak keterlaluan jika dondang saying akan
pupus, maka pantun yang menjadi lirik spontan nyanyian turut akan
hilang. Maka satu-satunya lirik tradisi yang dicipta spontan ketika
melagukan irama dondang sayang akan pupus, sepupusnya cara lirik
dicipta. Barangkali nama Baharim, Ma’arof, Nona Othman, Kim Geok
atau Kim Bok hanya tinggal dalam kumat-kumit bibir Mohd. Herdi
dan Firdaus yang bakal kehilangan arah.

Itulah pantun dan lagu, antara lirik dan irama yang menyaksikan
pembauran tokoh pemantun dan dondang sayang. Melaka amat terhutang
budi dengan Aziz Tapa dan Borhan Yamin yang petah berpantun
dan dengan Baharim, Maarof, Nona Othman, Kim Geok serta Kim
Bok yang “takkan senang duduk tanpa dondang sayangnya”.
Rentak irama Melayu asli dari Melaka ini masih terus bergema
di awang-awang fikiran setelah dua hari berada di Melaka. Kadangkadang
terfikir pula macam manalah indahnya irama dondang sayang
tanpa pantun yang dicipta spontan oleh penyanyinya, seperti halnya
juga bagaimanalah indahnya pantun yang dicipta spontan tanpa irama
dondang sayang yang mengiringnya? Fikiran ini terus datang dan
pergi seolah-olah ia seperti ingin mencari jawapan kepada pertanyaan
Nizal Mohammad tentang catatan saya minggu ini. Pertanyaan Nizal
ini diselang-seli pula oleh pernyataan Kim Bok tentang keadaan baba
dan nyonya sekarang di Melaka. Kata Kim Bok, “Kami ini macam
bank OCBC. Bukan banknya tapi OCBC-nya, iaitu Orang Cina Bukan
Cina. Cina bukan Melayu pun bukan, terutama dari sudut budayanya.
Barangkali pula, ini juga yang sedang difikirkan oleh Penerbit Jejak
Bahasa musim kedua ini  Hisham Abdullah.

Bukit Rambai, Melaka.

Saturday 12 March 2016

ABD. RAHIM BAKAR (ALLAHYARHAM) : DARI MENTERI BESAR PAHANG KEPADA PENGERUSI DBP

Dato' Abd. Rahim Bakar (kanan) dan Othman Ismail Pengurus Program Jejak Bahasa ketika menunggu feri di Pulau Bangka menuju ke Palembang setelah menyaksikan penggambaran Episod Jejak Bahasa Pulau Bangka pada tahun 2000



DEWAN Bahasa dan Pustaka (DBP) merupakan institusi
yang tidak pernah difikir oleh Abd. Rahim untuk berkhidmat
sebagai pengerusi. Sepanjang kerjayanya sebagai
pegawai negeri dan kemudian pentadbir sebuah negeri,
institusi DBP terlalu asing baginya. Hal ini disebabkan
DBP terlalu menyimpang jauh daripada tugas dan kerjayanya. Abd. Rahim
bukan orang bahasa dan tidak pula orang sastera. Kadang-kadang
dia terfikir bagaimana dia boleh dilantik sebagai Pengerusi Lembaga
Pengelola DBP.

Memang benar Abd. Rahim pernah mendekati DBP sepanjang kerjayanya
sebagai Menteri Besar Pahang. Abd. Rahim diminta merasmikan
Persidangan Komunikasi, anjuran Persatuan Penulis Nasional (PENA)
dengan kerjasama Dewan Bahasa dan Pustaka pada 23 September 1979.
Mengapa Rahim yang dipilih untuk merasmikannya tidak sukar ditelah
kerana Ketua Satu PENA ketika itu ialah Adam Kadir (Dato’). Dan hubungan
Adam dengan Kadir cukup intim kerana kedua-duanya berasal dari
daerah yang sama, iaitu Kuantan.

Peserta persidangan yang kebanyakannya wartawan, penulis dan ahli
akademik tentu masih ingat inti pati ucapan perasmian Rahim. Antaranya
tentang hak dan kebebasan akhbar. Menurut Rahim, “Ini adalah suatu ciri
atau fenomena dunia media massa. Jika ini tidak ada, media massa akan
menjadi kaku dan statik, tawar dan tidak ghairah.” Lalu Rahim menyeru
para wartawan supaya “menjadi berani dan bijaksana, jujur dan teliti: Bertanggungjawab
dan mengekalkan kredibiliti.”

Ucapannya memberi keutamaan kepada pembangunan masyarakat
dan negara, walaupun menurutnya ucapan seumpama itu sudah menjadi
klise (cliche). Katanya, “Namun ia tetap penting, kerana pengertian
dan kefahaman tentang berbagai-bagai aspek dan perkara adalah menjadi
prasyarat kepada pembangunan sosial, politik dan ekonomi yang
berguna kepada mesyarakat. Dan juga prasyarat untuk menegakkan demokrasi
dan ketahanan nasional.”

Ucapan ini selari dengan konsep perjuangan Rahim dalam politik. Selama
ini pun Rahim telah memberi sumbangan besar kepada pembangunan
nasional (baca: rakyat), malah kegigihannya dalam bidang pembangunan
ini menyebabkannya tersisih daripada pusat pemerintahan
kemudiannya. Malah, ia juga bagaikan satu faktor terpenting dia terpaksa
melepaskan jawatannya sebagai ketua kerajaan di Pahang Darul Makmur.
Seolah-olah Rahim telah ditakdirkan untuk masuk ke dunia lain di luar
politik dan dunia yang dimaksudkan itu ialah seni dan budaya, khususnya
persuratan.

Cara Rahim dilantik menjadi Pengerusi Lembaga DBP sedikit terkeluar
daripada peraturan biasa pemilihan dan perlantikan Ahli Lembaga.
Pada suatu hari dalam tahun 1986 Rahim mendapat panggilan daripada
Dato’ Seri Anwar Ibrahim, ketika itu Menteri Pendidikan. Menurut Rahim,
“Saudara Anwar bertanya saya. Saya agak enggan kerana saya tak tahu
sangat dan tidak berapa mahir dalam hal-hal bahasa dan budaya ini.”
Masih juga Rahim teringat kata-kata seloroh Dato’ Anwar, “Aku tidak ada
apa lain nak bagi. Dalam kementerian aku selain daripada vice-chancellor
universiti dan DBP. Takkan aku nak bagi kau vice-chancellor.”

Jawapan Rahim selamba, “Apa susah nak bagi. Aku tidak minta. Tak nak
bagi sudahlah. Aku tidak minta.” Anwar berhasrat juga untuk menawarkan
Rahim jawatan pengerusi itu. Akhirnya Rahim minta tempoh seminggu
dua untuk menimbangkannya. Selepas 10 hari Anwar telefon Rahim
di rumah. Rahim kata setuju. Yang menariknya dalam tempoh satu jam
sahaja, seorang budak pembawa surat bermotosikal sampai di rumahnya
dan menyerahkan surat perlantikan. Anehnya surat itu tidak menyebut
tarikh Rahim dilantik, tempoh menjadi pengerusi dan tarikh mula memegang
jawatan.

Rahim mengakui bahawa dia berasa gerun hendak datang ke DBP. Katanya,
“Saya tidak biasa.” Akhirnya Rahim memberanikan diri datang ke
Dewan Bahasa dan Pustaka dan bertemu dengan Ketua Pengarah ketika
itu Dato’ Hassan Ahmad. Rahim langsung menunjukkan surat Anwar kepada
Hassan. Maka dipersetujui bahawa tarikh Rahim memegang jawatan
ialah tarikh surat itu disiapkan. Surat itu bertarikh 16 Oktober 1986.
Dunia yang ditemui Rahim berlainan sungguh dengan dunia yang
pernah dihuninya selama ini – dunia politik dan ekonomi. Tiba-tiba
dia terlantar di dunia yang begitu asing baginya seolah-olah dia ibarat
seekor rusa yang sesat masuk kampung. Katanya, “Memang macam rusa
masuk kampung. Termangu-mangu, terkebil-kebil. Nak beri pandangan,
pendapat agak susah. Ketika itu saya datang dua atau tiga kali seminggu.
Tapi lebih kerap daripada pengerusi sebelumnya.”

Sebelum Rahim telah berapa kali jawatan pengerusi ini dipegang oleh
tokoh-tokoh Melayu, antaranya Dato’ Sheikh Ahmad dari Perlis, Dato’ Ali
Hj. Ahmad dari Johor, Dato’ Mansor Hj Othman dari Negeri Sembilan, Dato’
Sheikh Hamdan Tahir dari Pulau Pinang dan Dato’ Musa Muhammad,
seorang Menteri Pendidikan. Dato’ Ali dan Dato’ Mansor kedua-duanya
orang politik seperti halnya Rahim dan Dato’ Mansor juga adalah bekas
Menteri Besar.

Maka barisan tokoh yang telah menyandang jawatan pengerusi ini
sedikit meningkatkan semangat Rahim untuk menghadapi rasa rendah
dirinya apabila berdepan dengan orang bahasa dan sastera di Dewan
Bahasa dan Pustaka. Rasa rendah diri dan sikap rusa masuk kampung
akhirnya lenyap setelah Rahim membiasakan diri dalam suasana Dewan
Bahasa dan Pustaka, terutama ketika mempengerusikan mesyuarat Ahliahli
Lembaga Pengelola.

Rahim mengakui bahawa setiap kali ada mesyuarat dia tidaklah kekok
sangat kerana lazimnya dalam setiap mesyuarat lembaga, masalah yang
dibangkitkan hampir sama sahaja dengan mesyuarat jabatan kerajaan
yang lain, iaitu soal pengurusan dan pentadbiran. Hanya ketika masalah
bahasa dan sastera diungkit “saya tidak banyak campur. Saya tak pandai
sangat dalam hal ini.”

Rahim dilihat sebagai Pengerusi DBP yang kerap datang ke pejabat
berbanding pengerusi-pengerusi sebelumnya. Malah, pada satu tempoh
waktu, Rahim hampir setiap hari berada di pejabatnya di Dewan Bahasa
dan Pustaka. Pernah juga beberapa orang kakitangan DBP tersalah sangka
bahawa Rahim seorang Pengerusi Eksekutif di institusi bahasa dan
sastera itu.

Selama hampir lima penggal Rahim menjadi Pengerusi (satu penggal
= tiga tahun) banyak juga sumbangannya untuk mempertingkat prestasi
DBP. Seperti katanya, “Saya berasa puas dan seronok kerana saya dapat
menyumbang secara terhad dari segi proses pembinaan negara melalui
bahasa dan sastera.” Dan secara rendah diri Rahim menganggap dirinya
hanya sebagai pembantu di DBP, dalam erti kata pendorong untuk
mencetuskan idea. “Ini sering saya lakukan di berbagai-bagai peringkat
– Lembaga Pengelola, Pengurusan dan di peringkat seminar, kongres bahasa
dan sastera,” ujarnya.

Mantan Pengarah Penerbitan DBP, Rohani Rustam menyifatkan keha4
diran Rahim di institusi bahasa dan sastera itu sebagai “penyelamat” atas
dasar pintu terbukanya dalam menyelesaikan masalah dalaman. Kata Rohani,
“Dia (Rahim) sudah memahami sejarah perkembangan DBP dan dia
cuba meningkatkan satu imej dari segi arah tuju.”

Contoh paling baik yang diberikan Rohani ialah pengalaman Rahim
dalam bidang politik yang cuba diterapkan ke DBP. Sebagai orang politik
Rahim memahami dasar ekonomi baharu dan dengan itu dia cuba
membantu bumiputera dalam bidang penerbitan dan percetakan. Maka
secara tidak langsung Rahim memainkan peranan untuk mengagih-agihkan
projek penerbitan dan percetakan kepada kaum bumiputera.
Dengan berlatarbelakangkan politik, Rahim secara konsisten cuba memandu
DBP supaya tidak lupa kepada tanggungjawab sosial. Barangkali
dia mulai mengerti ketika itu bahawa pihak pengurusan DBP telah mula
terikut-ikut dengan rentak penerbit swasta dalam menyebarluaskan
produk bahasa dan sastera.

Sebagai contoh, pernah dalam satu mesyuarat,
seorang pegawai mencadangkan supaya istilah yang dicipta DBP
dijual kepada orang ramai, terutama dalam bidang teknologi maklumat
(IT). Rahim menolak cadangan itu dan mahu “istilah disebarkan secara
percuma melalui Internet kepada pengguna.” Rohani melihat kemahuan
Rahim ini sebagai sikapnya yang “masih kuat dan bersemengat berjuang
untuk rakyat.”

Kejujuran Rahim membimbing DBP, walau hanya seorang Pengerusi
Bukan Eksekutif tidak diragukan. Seorang kakitangan DBP pada mulanya
memandang sinis Rahim yang begitu kerap menghadirkan diri di
DBP berbanding pengerusi-pengerusi sebelumnya. Lebih menyakitkan
katanya, ketika dia membuat komen yang begitu negatif setiap kali dia
terpandang kereta Mercedes sport Rahim terletak di porch. Mengapa dia
tidak begitu menyenangi kehadiran Pengerusi yang begitu kerap tidak
pula dia jelaskan? Komennya itu bagaikan membawa konotasi bahawa
Rahim tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali Pengerusi DBP.

Bagi Rohani kekerapan Rahim hadir di DBP mencerminkan kegigihannya
“untuk memimpin organisasi budaya DBP yang ketika itu amat sensitif.
Saya lihat banyak perubahan ketara. Begitu tajam pandangan dan fikiran
dia tentang sesuatu isu, terutama dari segi staf, tenaga pekerja. Kelemahan
dan kekuatan yang saya sendiri nampak, dia juga nampak. Dia sangat
observant. Pengurusan pentadbirannya kuat sekali kerana pengalaman
yang ada padanya dalam bidang itu.”

Satu insiden pentadbiran yang melibatkan Rahim terjadi. Dalam satu
mesyuarat, Rahim menunjukkan rasa kurang sabar jika ada yang hadir
kurang faham tentang sesuatu perkara yang dibincangkan. Namun, Ra5
him hanya membiarkan orang itu membebel dan kadang-kadang menyimpang
daripada persoalan. Setelah selesai orang itu bercakap Rahim
akan berkata, “Saya ke yang tidak faham atau awak yang kurang faham.”
Cara Rahim berkata itu seperti orang yang sedang marah-marah. Tetapi
kata-kata yang diungkapkan itu merupakan satu tamparan kepada “yang
termakan lada”. Ramai pegawai DBP melihat itu adalah cara Rahim menujukkan
rasa marahnya. Unjukan rasanya itu tidaklah seperti kata Rohani
“sampai membaling-baling fail. Dato’ boleh menahan rasa marahnya dan
dia tidak menunjuk sangat.”

Penglibatan Rahim dalam kerja-kerja harian semakin terasa, walaupun
sebenarnya dia tidak perlu berbuat begitu berdasarkan kapasitinya
sebagai Pengerusi Bukan Eksekutif. Bagaimanapun disiplin diri dan
tanggungjawab terhadap memikul amanah yang diberikan tidak membezakan
Rahim sebagai Pengerusi Bukan Eksekutif ataupun sebaliknya.
Minatnya untuk mengembangkan bahasa semakin meningkat. Rahim
malah mahu melihat bahasa Melayu menjadi bahasa pertuturan di seluruh
Asia. Seperti katanya, “Kalau direstui Tuhan dan kalau sokongan kita
ada, maka bahasa Melayu akan menjadi salah satu bahasa di peringkat
antarabangsa. Sebabnya bahasa Melayu kini telah pun menjadi bahasa
keempat terbesar di dunia.”

Pada suatu ketika orang ramai tidak menaruh harapan sangat kepada
sumbangan Rahim sebagai Pengerusi DBP. Sikap skeptis orang ramai terhadap
peranan yang boleh dimainkan Pengerusi DBP bersebab. Kuasa
non-eksekutif yang diberikan kepada jawatan pengerusi tidak menjamin
kuatnya pengaruh tokoh yang memegang jawatan itu. Walau seefektif
mana pun seorang tokoh dalam bidang politik, misalnya atau bidang
pentadbiran, tetapi jika kuasa eksekutif tidak diperoleh, maka jawatan
Pengerusi DBP adalah sekadar pengawal dasar sahaja.
Masalah inilah yang mungkin menghantui Rahim ketika dia mahu
menerima tawaran yang dibuat Menteri Pendidikan ketika itu, Dato’ Seri
Anwar Ibrahim.

Namun, Rahim bukan seperti pengerusi-pengerusi sebelumnya
yang hanya menjadikan jawatan di DBP sebagai pelengkap kerjaya
semata-mata. Rahim terjun langsung. Setiap kegiatan DBP diikutinya,
malah kadang-kadang terlibat langsung. Para pegawai Bahagian Penerbitan
Bahasa mungkin masih ingat bagaimana Rahim bersusah payah
mengikuti rombongan Jejak Bahasa membuat penggambaran di Jakarta,
Palembang dan Pulau Bangka, Sumatera. Minatnya dalam bidang itu turut
dilihat ketika Rahim ikut serta dalam rombongan DBP Cawangan Sarawak
mengunjungi Pusat Bahasa di Makasar.

Pada suatu petang Rahim tiba di Jakarta untuk mendampingi tim
penggambaran Jejak Bahasa yang sedang membuat penggambaran
di ibu kota Indonesia itu. Ketibaannya mungkin ada kaitannya dengan
keinginannya untuk meniupkan semangat kepada setiap sebelas anggota
tim penggambaran dan penyelidikan kerana mereka telah berada
di negara jiran itu sejak sembilan hari lalu. Rahim dijadualkan turut sama
meninjau keadaan di tempat lokasi sambil melihat cara penggambaran
dijalankan. Penggambaran akan diadakan di sebuah rumah Betawi untuk
melihat seni arkiteknya. Tidak siapa menduga bahawa Rahim seorang tokoh
politik, begitu berminat melihat rumah tradisi orang Betawi. Menilai
struktur rumah adalah tugas seorang arkitek, bukan tokoh politik seperti
Rahim.

Namun, sepanjang setengah hari berada di rumah itu, Rahimlah yang
banyak bertanya kepada pemilik rumah, yang berasal dari Palembang
tetapi telah menetap puluhan tahun di Jakarta. Oleh sebab pagi itu kegiatan
lebih tertumpu kepada penggambaran, maka banyak pertanyaan
Rahim tidak dapat dijawab sepenuhnya oleh tuan rumah. Rahim pula
tidak menolak hajat pengarah Jejak Bahasa, Zailan Abd. Rahman untuk
“berlakon” beberapa saat sebagai tamu rumah Betawi.

Jarang sangat Pengerusi DBP bergaul mesra dengan pakar bahasa dan
sastera, terutama yang dikaitkan dengan kerjasama kebudayaan serantau.
Namun, Abd. Rahim tidak melepaskan peluang menghadiri sepenuh
masa Persidangan Mabbim, Mastera dan Fokeps di Johor Bahru, 15 Mac
2001 lalu. Fokeps adik bongsu kepada Mabbim dan Mastera direalisasikan
di Johor. Fokeps adalah kependekan kepada Forum Kerjasama Penerbitan
Serantau yang telah lama diilhamkan melalui satu memorandum
persefahaman yang dijalin antara DBP dengan Balai Pustaka. Memorandum
yang ditandatangani pada 21 Ogos 1995 berintikan kerjasama
dalam bidang penerbitan antara DBP dengan Balai Pustaka.

Pertemuan DBP dengan Balai Pustaka di Jakarta 7 Februari 2001 yang
lalu menyuntik semangat baharu dalam bidang kerjsama ini. Langkah
awal ditandai dengan merasmikan penubuhan Fokeps di Johor Bahru,
sempena sidang Majlis Bahasa Brunei-Indonesia-Malaysia (MABBIM) dan
Majlis Sastera Asia Tenggara (MASTERA).

Abd. Rahim ketika merasmikan Fokeps mengimbaskan kembali sejarah
kerjasama ini sejak memorandum persefahaman ditandatangani.
Abd. Rahim difahamkan bahawa pernah ada usaha untuk menubuhkan
persatuan penerbit peringkat Asia Tenggara tetapi tidak berjaya. Katanya,
“Mungkin dalam bentuk forum yang tidak begitu terikat dengan struktur
yang terlalu formal usaha untuk mewujudkan jaringan kerjasama penerbitna
serantau ini akan lebih berjaya.”

Asas keyakinan Abd. Rahim ini mungkin berputik daripada banyaknya
jumlah kedai buku di Malaysia yang menjual buku-buku terbitan Indonesia
sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan lagi. Bahkan namanama
besar dalam bidang persuratan di Indonesia seperti Hamka, Sutan
Takdir Alishahbana, Marah Rosli, Pramoedya Ananta Toer dan sebagainya
tidak asing bagi penulis Malaysia. Katanya, “Karya mereka dikaji dan dijadikan
contoh oleh penulis muda Malaysia yang akhirnya menubuhkan
Angkatan Sasterawan 50 (ASAS 50) di Singapura.”

Menurut Abd. Rahim lagi setelah negara-negara berbahasa Melayu
mencapai kemerdekaan dan sedang memasuki zaman perkembangan
teknologi maklumat, masih belum ada upaya untuk mengatasi masalah
lalu lintas buku dalam kalangan negara-negara yang menggunakan bahasa
Melayu. Katanya, “Dalam hubugan inilah saya menyokong penubuhan
forum ini.”

Walaupun pandangan Abd. Rahim bukanlah perkara baharu, terutama
yang menyangkut lalu lintas buku antara negara, namun sejak tahun
1970-an lagi pelaksanaan kerjasama penerbitan masih belum dilakukan,
baik dengan Indonesia, mahupun Negara Brunei Darussalam atau
Singapura. Pengalaman DBP menubuhkan galeri buku di Jakarta ibarat
menelan pil pahit sehingga galeri yang terletak di Jalan Kwitang itu ditutup
begitu sahaja.

Memang benar badan-badan penerbit di Indonesia seperti Balai Pustaka
mendukung kerjasama penerbitan, malah Ikatan Penerbit Indonesia
(IKAPI) melalui ketuanya, Arselan Harahap menganggap kerjasama dalam
bidang ini adalah “selaras dengan rangkaian kerjasama yang sedia ada
seperti kerjasama dalam pengembangan bahasa Melayu melalui Mabbim
dan kerjasama kesusasteraan melalui Mastera.” Sehingga dengan
demikian “Ikapi mendukung gagasan kerjasama dalam bidang penerbitan
berbahasa Melayu untuk mengembangkan bahasa dan sastera Indonesia-
Malaysia.”

Abd. Rahim bersedia mendengar masalah yang menghalang kerjasama
penerbitan serantau itu. Barangkali dia berpuas hati dengan penjelasan
yang diberikan Arselan bahawa ketempangan kerjasama itu bukan disebabkan
larangan tetapi lebih disebabkan buku terbitan Malaysia tidak
mempunyai pasaran di negaranya. Ertinya buku-buku Malaysia kurang
mendapat sambutan dalam kalangan rakyat Indonesia. Kata Arselan,
“Kalau buku-buku itu memang memiliki pasar, maka di Indonesia sudah
lama terlihat edisi bajakannya (cetak rompak). Tapi sampai sekarang belum
pernah ada laporan mengenai pembajakan buku-buku berbahasa
Malaysia di Indonesia.”

Abd. Rahim terpaksa bergegas pulang sebaik sahaja membuka rasmi
persidangan Fokeps yang pertama itu. Namun, diyakini dia ingin terlibat
dalam perbincangan mengingati minatnya dalam bidang penerbitan
telah lama tertanam, sejak dia dilantik Pengerusi Lembaga Pengelola DBP.
Dia sepatutnya mendengar keluhan penerbit Malaysia apabila dikaitkan
dengan masalah lalu lintas buku antara kedua-dua negara Malaysia dan
Indonesia. Ada yang berkata, “Masalahnya sekarang adalah antara telur
dan ayam. Mana dulu yang diperlukan ayam atau telur? Bagaimana mahu
melihat buku cetak rompak, masuk ke Indonesia juga perlu macammacam
peraturan.

Dan lagi apakah sudah dibuat penyelidikan tentang
sambutan orang ramai di Medan atau di kota-kota besar lainnya di Sumatera.”
Mesej yang ingin disampaikan penerbit Malaysia ini jelas. Sumatera
lebih dekat dengan Malaysia dari sudut budaya dan tutur katanya. Malah,
di Riau bahasa yang digunakan lebih dekat dengan Malaysia. Minat dan
kehidupannya lebih mirip kepada Malaysia. Bukan tidak mungkin bukubuku
dari Malaysia akan mendapat sambutan lebih baik berbanding jika
buku itu dipasarkan di Jakarta atau Pulau Jawa. Jika 10% sahaja penduduk
di Pulau Sumatera yang mampu membeli buku, adalah dijangkakan
buku-buku terbitan Malaysia akan mempunyai potensi pasaran yang
lebih berbanding di Malaysia sendiri.

Pengalaman sebuah penerbit multinasional yang beroperasi di Malaysia
tahun 80-an dahulu seperti membenarkan pandangan penerbit ini.
Pada dekad itu penerbit multinasional ini cuba memasarkan buku terbitannya
di Medan. Pegawai pemasarannya mempunyai hubungan baik
dengan sebuah kedai buku di ibu kota Sumatera Utara itu. Setiap bulan
pegawai ini memantau penjualan bukunya. Setiap kali ke Medan dia akan
membawa beberapa judul baharu setiap judul hingga 10 naskhah. Kurang
pasti bagaimana dia boleh melepasi halangan masuk ke negeri itu.
Semua judul buku yang dibawanya habis terjual. Cuma masalahnya pemilik
kedai buku enggan menyerahkan wang hasil jualannya setelah ditolak
diskaun. Jika mahu, kata pemilik kedai itu, bawa pulang naskhah buku
Indonesia dalam pelbagai judul. Ertinya buku dijual secara sistem tukar
barang atau kontra.

Akhirnya transaksi antara penerbit Malaysia dengan
pemilik kedai buku di Medan itu terhenti begitu sahaja. Yang mahu ditekankan
ialah bahawa ada pasaran untuk buku terbitan Malaysia. Hanya
yang perlu diatasi ialah mencari pasaran di mana buku ini boleh dijual.
Wakil Indonesia dalam forum ini tidak menolak kemungkiinan untuk
mengadakan kerjasama dalam bentuk cetak semula atau adaptasi untuk
buku Malaysia di Indonesia. Sepertti katanya yang perlu dilakukan
lebih awal ialah “mengenal pasti pasar, terutama pasar bagi buku-buku
kemahiran praktis, pengetahuan umum dan bacaan-bacaan popular. Dan
diumumkan secara rasmi dalam sidang Fokeps ini bahawa buku-buku
pelajaran, agama dan yang ada kaitannya dengan al-Quran dari Malaysia
tidak lagi dilarang masuk ke Indonesia.

Hasrom Harom yang mewakili penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia
punya pandangan lain ketika ditanyakan tentang masalah lalu lintas
buku ke Indonesia. Menurutnya sejak sekian lama buku-buku terbitannya
tidak mengalami masalah masuk ke negara jiran itu. Pernah katanya
dia membawa masuk beberapa judul buku ke Jakarta tetapi tidak ada
hambatan. Tidak pula dinyatakan jumlah naskhah atau jumlah judul
yang dibawa masuk. Pandangan Hasrom ini berbeza dengan pandangan
mantan Ketua Pengarah DBP, Datuk Dr. Haji Hassan Ahmad. Datuk Hassan
meragui kemampuan kerjasama penerbitan ini berjalan lancar pada peringkat
awal. “Susah,” katanya. “Tapi tak tahulah. Kita lihat nanti.”

Katanya, “Nama Majlis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia
atau MABBIM dan Majlis Sastera Asia Tenggara atau Mastera secara tidak
langsung memperakukan bahawa bahasa Melayu itu sudah begitu identik
dengan bangsa-bangsa di keempat-empat negara di Asia Tenggara,
malah nama Mastera itu sendiri telah menyatukan jiwa dan semangat
Melayu dalam kalangan empat negara.”

Bagaimanapun Abd. Rahim melihat unsur kerjasama penerbitan serantau
itu selari dengan kerjasama yang telah mentradisi dalam bidang
kebahasaan dan kesusasteraan. Ketika berucap dalam majlis perasmian
sidang Mabbim dan Mastera 12 Mac. Abd. Rahim mencadangkan keperluan
menyelaraskan sistem bahasa dalam kalangan “umat negara-negara
berbahasa Melayu yang hampir mencecah 300 juta orang.”
Menurut Abd. Rahim, “Dengan adanya sistem bahasa yang relatif seragam
bagi satu rantau, walaupun tidak mungkin, malah memang tidak
perlu seratus peratus seragam, pelbagai kerjasama dapat dilakukan dan
hasilnya pasti mendatangkan manfaat kepada semua pihak. Sebagai contoh
yang jelas, dengan adanya penyelarasan sistem ejaan Rumi dan peristilahan
antara negara-negara berbahasa Melayu, komunikasi dalam bidang
ilmu dan maklumat menjadi demikian lancarnya sehingga rakyat di
setiap negara berbahasa Melayu dapat saling memanfaatkan ilmu yang
dikembangkan di negara jirannya. Gagasan perkongsian pintar seumpama
inilah yang dapat menjadi asas kukuh bagi pembinaan semula peradaban
atau tamadun besar di rantau ini dengan bertunjangkan bahasa
Melayu.”

Ketua Pengarah DBP, Haji Aziz Deraman melengkapi ucapan Abd. Ra10
him dengan menekankan bahawa bahasa Melayu dari segi tafsiran dan
kosepnya telah dipersetujui oleh Majlis Antarabangsa Bahasa Melayu
sebagai bahasa yang supranasional yang digunakan dengan meluasnya
dalam kehidupan penduduk di Alam Melayu, sejak zaman awal tanpa
mengira batas politik. Maknanya bahasa Indonesia, bahasa Malaysia dan
Bahasa Melayu Brunei serta Singapura itu cuma merupakan variasi bahasa
sahaja. Di dalamnya juga sudah terangkum apa juga hasil tulisan,
kepustakaan, karya kreatif atau bukan kreatif dan sebagainya dalam bahasa
Melayu.”

Buah fikir Abd. Rahim dan Haji Aziz itu ditunjangi pula oleh pandangan
Menteri Besar Johor Datuk Abdul Ghani Othman ketika merasmikan
sidang. Katanya, “Sudah menjadi bukti bahawa kebangkitan kuasa politik
dan ekonomi bangsa Melayu di rantau ini, turut berasaskan kekuatan dan
persuratannya. Bahasa Melayu dalam tempoh yang cukup panjang, telah
menjadi lingua franca untuk pelbagai keturunan di pusat-pusat tamadun
Melayu ketika itu, bahasa Melayu yang secara relatif seragam itu jugalah
yang menjadi wahana mengungkap segala peraturan dan undang-undang
serta menjadi bahasa pentadbiran dan perhubungan diplomatik
antarabangsa di antara kerajaan Melayu dengan kerajaan asing seperti
Belanda dan Inggeris.”

Dan bagi Abd. Ghani, walaupun tidak dapat dielakkan wujudnya kepelbagaian
di alam Melayu yang terutamanya disebabkan oleh pengaruh
setempat tetapi asas-asas keseragaman dalam ejaan, istilah, sebutan,
kosa kata dan laras bahasanya “amat penting bagi aktiviti komunikasi
rasmi dalam pengajian, pendidikan dan media massa.” Tentunya yang diinginkan
Ghani ialah suatu hari nanti keseragaman dalam berbahasa di
alam Melayu, tanpa sempadan politik akan menguasai peradaban bangsa
yang dinamakan Melayu. Kalau mampu keseragaman yang bernama bahasa
Melayu itu akan sekali lagi menjadi pengikat utama rumpun Melayu,
setidak-tidaknya dilihat dari sudut kebudayaan. Ucapan Abd. Rahim, Hj.
Abd. Aziz dan Ghani itu paling-paling mengharukan kebanyakan peserta,
terutama dua peserta Indonesia, iaitu Daeng dan Ikram yang kemudian
meluahkan semangat dan emosinya tentang bahasa yang mereka namakan
“Melayu” itu.

Maka amatlah jelas bahawa Abd. Rahim, mantan menteri besar dan
Abd. Ghani Menteri Besar Johor merupakan dua tokoh politik daripada
UMNO yang sedar akan kepentingan memartabatkan bahasa Melayu
dalam hubungan kerjasama serantau. Bahasa Melayu adalah perantara
dan pengikat utama bangsa-bangsa serantau, khususnya Malaysia, Indonesia
dan Negara Brunei Darussalam. Barangkali ketika berada bersama11
sama peserta dalam sidang Mabbim, Mastera dan Fokeps di Johor Bahru
itu Abd. Rahim teringatkan semangat Melayunya semasa menjadi pegawai
kerajaan dan akhirnya Menteri Besar Pahang suatu waktu dahulu. Semangatnya
adalah sama, cuma genre perjuangannya agak berbeza. Yang
satu politik dan ekonomi orang Melayu dan satu lagi bahasa, sastera dan
kebudayaan.

Tiba-tiba Abd. Rahim bagaikan telah jatuh cinta kepada perjuangan
meningkatkan bahasa, sastera dan budaya. Diyakini pergaulan sejak mula
menjadi Pengerusi 14 tahun yang lalu, membentuk pemikiran baharu
dalam bidang yang satu ketika begitu asing baginya. Kejujuran pemikirannya
ini dapat dilihat ketika dia turut sama dalam rombongan Jejak
Bahasa di Palembang dan Bangka pada Februari 2001 lalu. Jejak Bahasa
merupakan sebuah program TV yang dikendalikan oleh DBP dengan kerjasama
TV3.

Pada 13 Februari, Abd. Rahim Bakar tiba di Palembang. Dia akan bersama-
sama rombongan untuk ke Pulau Bangka bagi meneruskan penggambaran.
Pada sebelah malamnya, diadakan jamuan “membalas budi”
untuk meraikan semua anggota pembantu penggambaran yang terdiri
daripada pegawai dan kakitangan kerajaan propinsi Palembang. Seperti
biasa di majlis seumpama itu Abd. Rahim menjelaskan tujuan program
Jejak Bahasa dan matlamat DBP untuk membina dan mengembangkan
bahasa dan sastera. Dia tidak lupa mengucapkan rasa terhutang budi dan
rasa terima kasih atas bantuan dan kerjsama yang diberikan oleh semua
yang terlibat di Palembang sehingga penggambaran berjalan dengan
baik.

Inilah kali pertama Abd. Rahim mengunjungi Bangka yang namanya
dikaitkan dengan sebuah lagu nyanyian Allahyarhamah Rahmah Rahmat.
Pulau Bangka dikaitkan dengan perusahaan lombong bijih dan banyak
terdapat penduduknya daripada kaum Cina. Yang menarik di pulau ini
ialah budayanya yang mirip budaya Melayu di kepulauan Riau atau Semenanjung
Malaysia. Tujuan ke Bangka adalah untuk menjejaki lokasi
Kota Kapur yang dikatakan berhampiran ibu kota Bangka, Sungai Liat.
Kota Kapur ini terletak di Desa Batu Kapur sendiri dalam sebuah ladang
getah berhampiran sungai.

Minat Abd. Rahim di Kota Kapur berputik daripada kisah yang diceritakan
oleh seorang wanita keturunan Cina, mesra dengan panggilan Yuna
yang menjadi pemandu. Abd. Rahim turut tekun mendengar kisah misteri
Pulau Bangka dengan sejarah Kota Kapurnya yang jarang diketahui
orang ramai. Menurut Yuna, ada seorang pangeran dari Siantan (ketika
itu masih di bawah kerajaan Johor-Riau) yang lari dari daerahnya kerana
bimbang akan serangan Portugis. Pangeran ini belayar ke selatan dan
akhirnya mendarat di Belinyu di bahagian utara Bangka. Pangeran dan
pengikut-pengikutnya membuat permukiman baharu di kawasan ini.
Ada sebahagian daripada pengikutnya mendarat di Mentok.
Pangeran kemudian mencari tempat tinggi untuk berasa lebih selamat
lalu menetap di Gunung Maras. Beliau mencari ketenangan dengan bertapa
di atas gunung itu di samping belajar ilmu kebatinan dengan guru
di tempat pertapaan.

Maka keturunan pangeran ini sampai sekarang pun
masih memanfaatkan ilmu kebatinan yang mereka pusakai turun-temurun.
Keturunan pangeran ini yang banyak terdapat di daerah Belinyu,
Mentok dan Gunung Maras masih bertutur dengan menggunakan dialek
Johor-Riau. Kebanyakan penduduk Bangka-Belitung yang berjumlah
kira-kira 800 000 orang itu bertutur dengan dialek Johor-Riau, walaupun
ada juga di kawasan bandar kami mendengar penduduk bertutur dalam
bahasa Indonesia dalam loghat orang Perak atau Betawi.

Dalam perjalanan Abd. Rahim dan rombongan mengalami peristiwa
aneh. Salah seorang pemandu rombongan, Hamid dari pejabat pelancongan
Bangka menyatakan beberapa minggu yang lalu Bangka mengalami
cuaca yang sungguh panas. Hamid berasa hairan tiba-tiba sahaja
hujan turun mencurah-curah, terutama pada waktu malam beberapa
hari kebelakangan ini. Rombongan terus dibawa ke sebuah ladang getah
yang menurut pemandu adalah lokasi Kota Kapur. Abd. Rahim bertanya
kepada salah seorang penduduk kampung bernama Mahathil, asal usul
nama “kapur”. Jawabnya, “kapur” bererti sejenis agas yang dinamakan
kekapur. Oleh sebab banyaknya agas di desa itu maka orang kampung
menamakan kampung atau desa itu Kota Kapur. Desa Kota Kapur asalnya
bernama Desa Semarang. Oleh sebab terdapat banyak batu kapur di
daerah itu maka orang kampung menamakannya semula dengan Kota
Kapur.

Belum pun sempat Mahathil menjelaskan dengan terperinci, tiba-tiba
hujan turun lagi dengan lebatnya. Hujan berhenti dengan tiba-tiba juga
ketika anggota-anggota rombongan menaiki van masing-masing untuk
berlindung. Sebaik sahaja kami turun semula hujan tiba-tiba turun lagi
dengan lebat sehingga memaksa semua anggota rombongan termasuk
Abd. Rahim masuk ke dalam van semula. Ini berlaku beberapa kali sehingga
rombongan meninggalkan kawasan itu menuju ke rumah ketua
kampung. Inilah pengalaman yang mungkin tidak dapat dilupakan Abd.
Rahim sepanjang kunjungannya ke Bangka.

Tiba-tiba ketua kampung menukar fikiran. Katanya lokasi kota kapur
itu adalah di tepi sungai di bawah bukit. Abd. Rahim dengan tidak meng13
hiraukan hujan terus menuruni bukit bersama-sama ketua kampung dan
dua orang pegawai pelancongan. Sebentar kemudian mereka muncul
semula dan masih berpayung kerana hujan masih turun.
Kata Abd. Rahim, “Ada lagi sungai kecil sebelum sampai ke sungai
tempat batu bersurat itu. Oleh sebab pegawai pelancongan tidak mahu
menyeberang dan tidak mahu tanggalkan kasut, kami tidak jadi ke sana.”
Pengarah program Jejak Bahasa daripada TV3, Mohd. Zailan Abd. Rahman
meminta penjelasan Mahathil lagi tentang lokasi sebenar letak prasasti
ketika ditemukan. Ketua kampung membawa rombongan ke satu tempat
lagi yang menampakkan laut luas, semasa berkenderaan ke lokasi
hujan tiba-tiba berhenti. Ketika berada di satu tanah lapang berdekatan
dengan curam bukit dan sebaik sahaja rombongan turun daripada kenderaan
hujan turun semula dengan lebatnya. Sekali lagi mereka bergegas
masuk ke dalam kenderaan.

Abd. Rahim cuba mendekati curam bukit melihat laut yang terbentang
luas dengan berpayung. Setelah beberapa saat dia kembali masuk kenderaan
dan membatalkan niat untuk mengadakan penggambaran. Hujan
berhenti semula sebaik sahaja kenderaan bergerak menuju Desa Kota
Kapur semula. Oleh sebab jalan becak dan dipenuhi air, dua daripada kenderaan
rombongan terpaksa ditolak beramai-ramai kerana kedua-dua tayar
belakangnya terperosok ke dalam genangan air yang dalam.

Esoknya apabila misteri hujan itu diceritakan kepada Yuna, dia hanya
tersenyum dan menjelaskan kisah seorang pangeran dari Siantan yang
datang menetap di Bangka. Katanya, “Bapak-bapak semua perlu sopan
dan ramah ketika berbicara dengan orang-orang kampung. Hanya dengan
asap rokok bapak-bapak boleh hidup merana, hidup segan mati tak
mahu.” Yuna yakin misteri hujan di Kota Kapur itu adalah disebabkan ada
dalam kalangan anggota rombongan yang mempunyai niat yang tidak
ikhlas apabila berkunjung ke desa yang dianggapnya masih mempunyai
misteri Kota Kapurnya. Katanya lagi, “Itu baru misteri hujan Kota Kapur
sebenarnya masih lagi mahu bermesra dengan bapak-bapak.” Tidak pasti
apakah Abd. Rahim “termakan” dengan cerita Yuna demikian, namun
pengalaman di lokasi Kota Kapur itu akan terakam lama dalam kenangannya.

Abd. Rahim melahirkan rasa kurang senang tentang treatment penggambaran
di Pulau Bangka, terutama di lokasi Batu Kapur. Dia kecewa
kerana tidak ada rakaman penting dibuat, terutama di lokasi prasasti tua
Kota Kapur. Walaupun ada permintaan penggambaran dilakukan di kawasan
kebun getah yang menempatkan prasasti itu, namun Mohd. Zailan
keberatan. Katanya tidak ada yang penting yang boleh dirakamkan. Pada
pagi esoknya ketika bersarapan Abd. Rahim mengadakan perbincangan
dengan Mohd. Zailan dan ternyata dia tidak berpuas hati dengan penjelasan
Mohd. Zailan. Nyatanya Abd. Rahim benar-benar marah dengan cara
penggambaran di Bangka. Kemarahannya mungkin berpunca daripada
kekecewaannya untuk melihat rakaman penting dibuat setelah jauh-jauh
datang, khusus untuk melihat sendiri daerah Kota Kapur.

Kebersamaan Abd. Rahim dengan program Jejak Bahasa episod Bangka
dan Palembang ini menunjukkan dia begitu komited untuk melihat
yang terbaik. Namun, dia “lemas” dengan sikap tidak prihatin sesetengah
anggota rombongan yang terlalu menekankan bukti zahir daripada bukti
sejarah, seperti yang diminta Mohd. Zailan. Rasanya jarang sangat dia berjumpa
dengan seseorang yang tidak peka sejarah seperti Mohd. Zailan.
Malah, hasil kerja di Bangka tidak berbaloi berbanding kos untuk berkunjung
ke sana selama tiga hari. Inilah yang difikirkan Abd. Rahim sebagai
orang yang begitu prihatin tentang hal-hal kewangan.

Namun demikian, kemesraan yang ditunjukkan Abd. Rahim selama bermukim
di Pulau Bangka tidak berkurangan. Dia bergaul dan bersembang
dengan setiap anggota rombongan dan ada yang merasa bahawa Abd.
Rahim sebagai seorang ketua yang bersikap penyayang dan bersahabat.
Dia masih berterus terang dan straight forward dan tidak pendendam. Ini
diakui oleh anggota rombongan TV3. Dia orang politik dan dia juga orang
korporat dan kini dia seorang kawan yang boleh dibawa berunding. Tidak
pernah walau sesaat pun Abd. Rahim menjarakkan dirinya dengan anggota
rombongan seolah-olah dia bukan Pengerusi DBP ketika itu.

Abd. Rahim bagaikan telah meninggalkan peraturan protokol dan lupa
dirinya siapa ketika berteduh di rumah seorang kampung berhampiran
lokasi Kota Kapur. Dia bersama-sama beberapa anggota duduk bertenggong
di pintu rumah sementara menunggu hujan teduh. Dia juga samasama
berlari ke belakang rumah untuk sama-sama makan durian yang
disediakan oleh tuan rumah. Pembawaan Abd. Rahim yang benar-benar
“turun ke bawah” sama-sama menghadapi suka duka dan sepak terajang
permasalahan yang dialami orang bawahannya menjadi faktor dominan
mengapa Abd. Rahim kekal lama di DBP. Tidak ada lagi sungutan kakitangan
DBP bahawa Abd. Rahim selalu sahaja berada di DBP bagaikan
sedang bertugas sepenuh masa. Bukan hanya itu, Abd. Rahim terlihat di
mana sahaja ada kegiatan sastera dan bahasa anjuran DBP, di dalam dan
luar negeri. Bagaikan bidang bahasa, sastera dan budaya telah mendarah
daging dalam dirinya.

(Catatan : Ini adalah sebahagian daripada menuskrip penulis tentang biografi Dato' Abd. Rahim Bakar. Petikan ini belum disunting seperlunya).